Sabtu, 23 April 2011

ANALISIS YURIDIS PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA (STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NO. 065/PUU-II/2004)

BAB  I
PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang Permasalahan
             Dalam hukum pidana Indonesia, asas legalitas terdapat pada Pasal 1 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang menyatakan “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan”.  Asas ini terbagi dalam tiga hal, yaitu Nulla poena sine lege (tidak ada pidana tanpa ketentuan undang-undang), Nulla poena sine crimine (tidak ada pidana tanpa kejahatan) dan Nullum crimen sine poena legali (tidak ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Salah satu konsekuensi dari ketentuan dari pasal tersebut adalah larangan memberlakukan surut suatu perundang-undangan pidana (non retroaktif).[1] 
             Dalam sejarah dan praktek perkembangan hukum pidana di Indonesia, asas retroaktif masih tetap eksis meskipun terbatas hanya pada tindak pidana tertentu.  Hal ini menunjukkan bahwa dasar pikiran  pelarangan pemberlakuan asas retroaktif sebagaimana tersebut di atas relatif dan terbuka untuk diperdebatkan, apalagi dengan adanya berbagai perkembangan jaman menuntut peranan hukum – khususnya hukum pidana – semakin diperluas.  Selain itu pemberlakuan asas retroaktif juga menunjukkan kekuatan asas legalitas beserta konsekuensinya telah dilemahkan dengan sendirinya. Masalah pemberlakuan asas retroaktif ini kembali muncul setelah dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia.  Ketentuan tentang pemberlakuan asas retroaktif ini muncul kembali dalam Penjelasan Pasal 4, Pasal 18 ayat (3) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 (khusus yang berkaitan dengan hukum pidana) dan Pasal 43 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000.  Tentang pemberlakuan asas retroaktif ini menimbulkan beberapa masalah, yaitu:
1.   Penempatan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam  Penjelasan Pasal 4 dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 merupakan hal yang kontradiktif dengan pasal yang dijelaskan, yaitu Pasal 4.  Ketentuan dalam Pasal 4[2] menentukan bahwa “hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut, termasuk salah satu Hak Asasi Manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun dan oleh siapapun.”  Ketentuan untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut (retroaktif) merupakanh hak absolut.  Dari hal tersebut ada dua hal yang mengemuka, pertama, apakah hak absolut itu dapat dikecualikan atau disimpangi dan kedua apakah dalam sistem perundang-undangan kita penyimpangan terhadap suatu ketentuan dapat dilakukan pada bagian “penjelasan”.
Hal yang kontradiktif dari ketentuan itu adalah pada Pasal 4 ditetapkan tentang hak absolut dan pada penjelasannya justru membatasi hak absolut tersebut.  Ini berarti hak absolut itu telah digerogoti dan tidak menjadi hak absolut lagi dan menjadi hak relatif.  Kemudian tentang penjelasan kata “siapa pun”, sebenarnya hanya negara yang dapat menerapkan asas retroaktif ini, sedangkan perorangan atau anggota masyarakat tidak dapat melakukannya. Dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system), yang dapat menjalankan sistem itu adalah aparat penegak hukum yang melakukan tugas atas nama negara, sehingga kecil kemungkinan individu/perorangan atau anggota masyarakat terlibat dalam sistem itu.
2.   Tampaknya penerapan asas retroaktif dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 patut dipertanyakan mengingat ketentuan terbaru mengenai penanganan kasus pelanggaran hak asasi manusia berat yaitu Statuta Roma 1998 menegaskan penolakan penerapan asas retroaktif.  Apakah ini merupakan suatu kemunduran.  Jika dilihat dari aspek kebaruan, memang demikian, akan tetapi alasan politik praktis lebih mengemuka mengingat kepentingan negara terhadap para pelanggar hak asasi manusia di masa lalu cukup besar, misalnya kasus pelanggaran hak asasi manusia di Timor-Timur.  Salah satu alasan politik praktis pemberlakuan asas retroaktif terhadap pelanggar hak asasi manusia berat di masa lalu adalah upaya untuk menghindari penerapan asas komplementaris dalam ketentuan ICC (International criminal court).  Asas ini menegaskan bahwa jika lembaga hukum atau peradilan nasional tidak dapat bertindak dan/atau tidak mau bertindak, maka perkara pelanggaran hak asasi manusia berat itu akan diambil alih oleh ICC (International Criminal Court).  Tentu ketentuan ini sangat berbahaya mengingat sebagian besar pelanggar hak asasi manusia berat di Indonesia adalah pemerintah sehingga sebisa mungkin diadili di dalam negeri.
 3. Dilihat dari aspek praktis, penerapan asas retroaktif dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 lebih ditujukan pada kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di Timor-Timur.  Ini terbukti dari beberapa kasus pelanggaran hak asasi manusia berat di masa lalu yang dilakukan oleh pemerintah sampai sekarang belum satu pun yang masuk ke Pengadilan Ad Hoc HAM meskipun terbuka kemungkinan untuk menyelesaikan pelanggaran hak asasi manusia berat di luar pengadilan.
             Salah satu dasar hukum dan yang paling relevan dengan persoalan yang dibicarakan di sini adalah ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) Perubahan Kedua (Amandemen Kedua) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.  Argumen yang diajukan adalah bahwa Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 atau Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2003 bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945.  Adapun Pasal 28 I ayat (1)[3] menyatakan bahwa ;
Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak untuk tidak diperiksa,hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun”.
Terhadap argumen tersebut, pemerintah sebagai pihak yang berkepentingan dalam hal ini, secara ringkas mengajukan dua hal yang dianggap sebagai dasar pemberlakuan surut Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2002 atau Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003.  Pertama, berdasarkan penafsiran pemerintah, Pasal 28 I ayat (1) dalam pelaksanaannya dibatasi oleh Pasal 28 J[4] yang menyatakan ;
(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain            dalam tertib kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib        tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang          dengan maksud semata-mata untuk menjamin pengakuan serta    penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk  mematuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral,  nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum dalam suatu  masyarakat demokratis.
                  Berdasarkan hal tersebut diatas, Abilio Jose Osorio Soares mantan Gubernur Timor Timur periode tahun 1994 sampai dengan tahun 1999, mangajukan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi terhadap penggunaan asas retroaktif dalam perkara pelanggaran hak asasi manusia berat Timor Timur. Hal tersebut dilakukan Abilio Soares karena hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia, yang memberikan adanya suatu landasan persidangan berdasarkan asas berlaku surut atau asas retroaktif. Hak untuk tidak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut adalah hak asasi manusia yang ada pada setiap orang tanpa kecuali dan tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun, di mana ketentuan ini secara jelas dan tegas diatur dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945, yaitu dalam Pasal 28 I ayat (1) dan karena itu hak untuk tidak dituntut dengan menggunakan asas berlaku surut merupakan hak konstitusional yang dimiliki setiap orang di Negara Republik Indonesia, hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut merupakan hak konstitusional yang dimiliki Abilio Soares yang dijamin dan dilindungi oleh Undang-Undang Dasar tahun 1945 dan dengan demikian pemberlakuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia berat yang didakwakan kepada Abilio Soares terbukti telah merugikan hak konstitusionalnya.      
                  Dasar permohonan yang diajukan oleh mantan Gubernur Timor Timur tersebut, yakni mengenai ketentuan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia terbukti telah bertentangan dengan tujuan luhur Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia itu sendiri, dimana undang-undang tersebut dimaksudkan untuk melindungi hak asasi manusia. Namun, kenyataanya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang merupakan dasar berlakunya asas berlaku surut justru telah melanggar hak asasi dari orang-orang yang terpaksa menjalani proses hukum akibat diberlakukannya asas berlaku surut. Abilio Soares selaku pemohon. adalah pihak yang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan dengan berlakunya Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan karenanya memenuhi ketentuan Pasal 51 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan “Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu: . perorangan warga negara Indonesia” . Berdasarkan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tersebut
                  Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia dinyatakan berlaku sejak tanggal diundangkan, yaitu tanggal 23 Nopember 2000. Bahwa tempus delicti dari pelanggaran hak asasi manusia berat yang didakwakan kepada pemohon sesuai Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b, Pasal 9 huruf a dan h, Pasal 37 dan Pasal 40 Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia adalah pada waktu antara bulan April dan September tahun 1999 dan dengan demikian pelanggaran hak asasi manusia berat yang didakwakan tersebut terjadi sebelum Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia diberlakukan, dengan demikian terhadap perkara pelanggaran hak asasi manusia berat dimana Pemohon telah dijadikan sebagai terdakwa di Pengadilan Hak Asasi Manusia Ad Hoc pada Pengadilan Hak Asasi Manusia Jakarta Pusat yang akhirnya mengakibatkan pemohon mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang Jakarta, karena telah diberlakukannya asas berlaku surut atau yang juga dikenal dengan nama asas retroaktif.[5]

B.   Pokok Masalah 
Dengan demikian dapat ditarik beberapa pokok permasalahan yang akan dijadikan bahan pembahasan dalam penulisan ini. Adapun  beberapa pokok permasalahan tersebut adalah sebagai berikut:
1.      Apakah pemberlakuan asas retroaktif tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
2.      Apakah Penerapan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam pengadilan hak asasi manusia (HAM) yang berat telah sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan
3.      Apakah putusan hakim Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan Pasal 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

C.  Tujuan dan Mamfaat Penulisan
Adapun tujuan dan mamfaat penulisan ini adalah sebagai berikut:
1.      Untuk menganalisa mengapa pemberlakuan asas retroaktif tidak melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
2.      Untuk menganalisa mengapa Penerapan dan pemberlakuan asas retroaktif dalam pengadilan Hak Asasi Manusia (HAM) yang berat telah sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan.
3.      Untuk mengetahui mengapa putusan hakim Mahkamah Konstitusi tidak bertentangan dengan pasal 28I Undang-Undang Dasar Tahun 1945.

D.  Metode Penulisan
Penulisan ini merupakan penulisan ilmiah yang akan dibahas dan dikaji satu atau beberapa gejala dengan cara melakukan analisis atas permasalahan yang timbul, maka di dalam penulisan ini akan digunakan metode penulisan sebagai berikut :
1.  Obyek Penulisan
Penulisan tentang “Ananlisis Yuridis Pemberlakuan Asas Retroaktif Dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia (Studi Kasus Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004)” merupakan penulisan yuridis normatif. Sebagai suatu penulisan yuridis normatif, maka penulisan ini berbasis pada analisis norma hukum, baik hukum dalam peraturan perundang-undangan maupun hukum dalam putusan-putusan pengadilan. Dengan demikian obyek yang dianalisa adalah norma hukum. Pemahaman yang mendalam mengenai norma-norma serta pengaturan tentang pemberlakuan asas retroaktif dalam hukum pidana dan peraturan perundangan-undangan tentang Hak Asasi Manusia (HAM), pertanggung jawaban pelanggaran hak asasi manusia yang berat dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
2.  Tipe Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode penulisan hukum normatif yaitu penulisan hukum yang dilakukan dengan cara menulis bahan pustaka atau bahan sekunder dan data primer yang diperoleh guna mendukung data sekunder. Penulisan hukum normatif ini bertujuan untuk menulis norma-norma hukum positif, khususnya terhadap pemberlakuan asas retroaktif dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia yang berat dan putusan Mahkamah Konstitusi tentang pengujian Uundang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia terhadap Undang-Undang Dasar Tahun 1945.
3.  Sifat Penulisan
Sifat penulisan adalah deskriptis analistis yaitu menjabarkan dan menjelaskan data yang penulis peroleh baik berdasarkan data primer dan data sekunder yang sudah dikumpulkan berdasarkan kaidah-kaidah teoritis maupun praktis, untuk kemudian dianalistis dan diolah guna memperoleh kesimpulan dan jawaban yang dapat di pertanggungjawabkan nantinya.
4.   Sumber Data
Oleh karena penulisan ini merupakan metode penulisan Normatif,  maka data utama yang digunakan adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari suatu sumber yang sudah dikumpulkan oleh pihak lain, baik melalui bahan hukum primer (peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan) dan bahan hukum sekunder (literatur-literatur hukum). Data sekunder yang digunakan penulis ini dibagi tiga, yaitu :
a.       Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat seperti perundang-undangan. Bahan hukum primer yang digunakan dalam penulisan ini adalah Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang –Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 065/PUU-II/2004 tentang pengujian Undang-undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak asasi Manusia terhadap Undang-Undang dasar Tahun 1945.
b.      Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan dalam penulisan ini diperoleh dari pendapat tulisan-tulisan atau makalah para ahli hukum pidana yang tertuang didalam bidang buku literatur yang terkait dengan pokok bahasan.
c.       Bahan hukum tersier adalah bahan-bahan yang diperoleh dari artikel-artikel, kamus besar bahasa Indonesia serta data-data dari situs-situs internet.

5.  Pengumpulan Data
Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari metode yang digunakan sebagai sumber untuk memperoleh data dalam mencpai tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut : Metode Penulisan Kepustakaan.
Suatu penulisan yang dilakukan dengan mengambil acuan dari buku-buku, karya ilmiah, media cetak, peraturan perundang-undangan serta laporan-laporan dan bahan bacaan lainnya yang ada hubungannya dengan skripsi yang dibuat oleh penulis, untuk mendapatkan landasan teoritis sebagai dasar melakukan penulisan skripsi. 
1.      Analisis Data         
Analisis dalam penulisan ini menggunakan analisis secara kualitatif baik terhadap data primer maupun data sekunder yang sudah dikumpulkan dan diolah guna menjawab permasalahan yang dikemukakan dan merumuskan kesimpulan penulisan yang dilakukan.
2.      Cara Penarikan Kesimpulan
Metode yang digunakan dalam mengambil kesimpulan adalah metode deduktif, yaitu dengan berdasarkan data yang bersifat umum dihubungkan dengan data yang bersifat khusus, lalu ditarik kesimpulan.

E.        Sistematika Penulisan
BAB I          :     PENDAHULUAN
                           Dalam bab ini akan diuraikan mengenai latar belakang permasalahan, pokok masalah, tujuan dan mamfaat penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan agar skripsi ini mudah dipahami.
BAB II         :     TINJAUAN UMUM TENTANG PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA
                           Dalam bab ini akan diuraikan mengenai sejarah Hak Asasi Manusia, Hak Asasi Manusia di Indonesia dan ruang lingkup pengadilan Hak Asasi Manusia.
BAB III       :     ASAS RETROAKTIF DALAM PENGADILAN HAK ASASI MANUSIA
                           Pada bab ini akan diuraikan mengenai asas legalitas dalam hukum pidana, asas retroaktif dalam hukum pidana dan pemberlakuan asas retroaktif dalam Pengadilan Hak Asasi Manusia.
BAB IV       :     ANALISA YURIDIS PEMBERLAKUAN ASAS RETROAKTIF DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI
                           Dalam bab ini akan diuraikan mengenai Pengadilan HAM Ad Hoc dalam kasus Abilio Soares, alasan-alasan pemberlakuan asas retroaktif dan putusan Mahkamah konstitusi.mengenai pengujian Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia.

BAB V         :     PENUTUP
                           Bab ini merupakan bagian akhir dari seluruh kegiatan penulisan, yang berisi kesimpulan dan saran.


[1] R. Soesilo, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal, Politeia-Bogor, 1996, hlm. 27
[2] Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia
[3] Undang-Undang Dasar 1945 dan Konstitusi Indonesia, Indonesia Legal Center Publishing, 2008, hlm. 88
[4] Ibid, hal. 89
[5] Putusan Perkara Nomor 065/PUU-II/2004, Pengajuan UU Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Terhadap UUD 1945, hlm 5

2 komentar:

  1. beberapa bagian dari tulisan ini njiplak, tidak menyebutkan sumber tulisannya. apa kabar wahai penjiplak... sadarlah dan bertobatlah segera.

    BalasHapus
  2. Tuan yang sok cerdas, coba lihat dengan teliti, jangan baru melihat setengah sudah menyimpulkan..

    BalasHapus